Senin, 22 Juli 2013

Apa itu Film??

Definisi Film
Definisi Film
Film adalah gambar hidup, juga sering disebut Movie. Film secara kolektif sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selusosa, biasa dikenal di dunia para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harfiah film (sinema) adalah Cinematrographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = graph (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera.
Film dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk fantasi dan figur palsu) dengan kamera, dan/atau oleh animasi. Kamera film menggunakan pita seluloid (atau sejenisnya, sesuai perkembangan teknologi). Butiran silver halida yang menempel pada pita ini sangat sensitif terhadap cahaya. Saat proses cuci film, silver halida yang telah terekspos cahaya dengan ukuran yang tepat akan menghitam, sedangkan yang kurang atau sama sekali tidak terekspos akan tanggal dan larut bersama ciaran pengembang (developer).
Definisi Film Menurut UU 8/1992 adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada seluloid, pita video, pringan vedo, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem Proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya.
Istilah film, pada mulanya mengacu pada suatu media sejenis plastik yang dilapisi dengan zat peka cahaya. Media peka cahaya ini sering disebut selluloid. Dalam bidang fotografi film ini menjadi media yang dominan digunakan untuk menyimpan pantulan cahaya yang terangkap lensa. Pada generasi berikutnya fotografi bergeser pada penggunaan media digital elektronik sebagai penyimpan gambar.
Dalam bidang sinematografi perihal media penyimpan ini telah mengalami perkembangan yang pesat. Berturut-turut dikenal media penyimpan selluloid (film), pita analog dan yang terakhir media digital (pita, cakram, memori chip). Bertolak dari pengertian ini maka film pada awalnya adalah karya sinematografi yang memanfaatkan media selluloid sebagai penyimpannya.
Sejalan dengan perkembangan media penyimpan dalam bidang sinematografi, maka pengertian film telah bergeser. Sebuah film cerita dapat diproduksi tanpa menggunakan selluloid (media film). Bahkan saat ini sudah semakin sedikit film yang menggunakan media selluloid pada tahap pengambilan gambar. Pada tahap pasca produksi gambar yang telah diedit dari media analog maupun digital dapat disimpan pada media fleksibel. Hasil akhir karya sinematografi dapat disimpan pada media selluloid, analog maupun digital.
Perkembangan teknologi media penyimpan ini telah mengubah pengertian film dari istilah yang mengacu pada bahan ke istilah yang mengacu pada bentuk karya seni audio-visual. Singkatnya film kini diartikan sebagai suatu gendre (cabang) seni yang menggunakan audio (suara) dan visual (gambar) sebagai medianya.

Fungsi Film
Film sebagai hasil seni dan budaya mempunyai fungsi dan manfaat yang luas dan besar baik dibidang sosial, ekonomi, maupun budaya dalam rangka menjaga dan mempertahankan keanekaragaman nilai-nilai dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara.
Film berfungsi sebagai :
    1. Sarana pemberdayaan masyarakat luas,
    2. Pengekspresian dan pengembangan seni, budaya, pendidikan, dan hiburan,
    3. Sebagai sumber penerangan dan informasi,

Film Sebagai Media Penyampai Pesan
Film merupakan media penyampai pesan dan  alat komunikasi massa. Pernyataan ini acap terdengar bila kita masuk dalam kajian perfilman. Film dan media pada umumnya, dapat menjadi alat propaganda yang ampuh. Bahkan Undang-undang Film tahun 2009 Indonesia menyebut film sebagai “…karya seni budaya memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional” dan “film sebagai media komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia internasional.
Film sebagai alat propaganda, dalam rangka mempengaruhi sikap dan perilaku sosial politik rakyatnya, sudah sejak 1898. Produksi film dinasionalisasikan paska Revolusi Bolshevik, tahun 1917. Dari semua kesenian, ujar Vladimir Lenin, bagi kami, sinema adalah yang paling penting. Maka Rusia pun memproduksi film-film propaganda seperti Sergei Eisenstein, dan V.I. Pudovkin. Jerman di masa Nazi juga menggunakan film sebagai alat propaganda dengan Leni Riefenstahl sebagai salah satu sineas utamanya.
Di Indonesia, film sebagai alat penyampai pesan sudah ada sejak masa colonial Belanda. Kala itu, film dokumenter menjadi alat penyuluhan untuk pencegahan wabah penyakit pes dan transmigrasi (Tanah Sabrang, Mannus Franken, 1938) yang memakai punakawan, karakter dari dunia wayang. Pada masa pendudukan Jepang, ida dimanfaatkan untuk meyakinkan bangsa Indonesia bahwa Jepang adalah saudara tua Asia yang akan membantu membebaskan Indonesia dari penjajahan barat.
Dalam dunia pemasaran atau marketing dikenal istilah yang kurang lebih sama fungsinya dengan penyebaran propaganda : Pemasaran Sosial (Social Marketing). Tujuannya adalah untuk mencapai tujuan perilaku tertentu untuk kebaikan sosial.Social Marketing dapat diterapkan untuk mempromosikan hal-hal kebaikan, atau mencegah hal-hal yang buruk, misalnya mengajak masyarakat tidak merokok di ruang publik, penggunaan sabuk pengaman, penggunaan helm untuk kendaraan bermotor dan masih banyak lagi.
Kampanye Perubahan Sosial
Kampanye perubahan sosial bukanlah satu hal yang baru. Sejak dari abad ke-17 hal tersebut sudah banyak dilakukan oleh beberapa Negara di dunia. Pada masa sekarang, kampanye perubahan sosial banyak difokuskan pada kegiatan reformasi kesehatan (misalnya : anti rokok, peningkatan nutrisi, pencegahan dan penyalahgunaan narkoba), reformasi lingkungan hidup (misalnya : kampanye air besih, pencegahan polusi udara, pelestarian hutan), reformasi pendidikan (meningkatkan saran sekolah negeri, peningkatan keahlian pada guru, peningkatan nilai siswa, dan sebagainya), reformasi ekonomi (menarik investor asing, peningkatan ketrampilan kerja dan pelatihan, dan sebagainya), kampanye lingkungan hidup (misalnya : ajakan untuk turut menjaga dan melestarikan alam, himbuauan untuk tidak melakukan pengerusakan terhadap alam).
Lalu apa yang dimaksudkan dengan kampanye perubahan sosial? Kotler 1989 pun menjelaskan bahwa kampanye perubahan sosial adalah suatu usaha yang dilakukan oleh satu kelompok (agen perubahan), yang bermaksud untuk membujuk orang lain (pengadopsi/kelompok sasaran) untuk menerima, memodifikasi, atau menginggalkan ide-ide, sikap, praktik, dan perilaku tertentu.
Peran Sutradara sebagai Social Change Agent (Agen Perubahan).
Dalam konteks kampanye perubahan sosial, agen perubahan sekaligus social marketer adalah pembuat film, yaitu produser dan/atau sutradara. Merekalah otak dari gagasan-gagasan yang tersimpan dalam media film dan kemudian disebarkan sebagai upaya untuk melakukan perubahan sosial. Karena itu, sangat penting untuk mengetahui langsung tujuan pembuatan film dari sang pembuat filmnya sendiri.
Selain itu, para agen perubahan ini perlu memiliki keahlian mengemas informasi (isu) yang ingin disampaikan sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti dan diterima oleh kelompok pengadopsi sasaran. Hyman dan Sheatsley (dalam Kotler & Roberto, 1989) menyimpulkan bahwa kampanye penyampaian informasi seringkali gagal dikarenakan hal-hal berikut :
  1. Ada kelompok yang benar-benar tidak mengetahui apapun (the chronic know-nothings) yang memang mungkin tidak dapat dicapai oleh suatu kampanye.
  2. Kemungkinan seserorang menanggapi informasi baru (isu baru) meningkat seiring dengan minat atau keterlibatan mereka terhadap informasi tersebut. Jika hanya sedikit saja orang-orang yang berminat atau merasa memiliki kepentingan, maka sedikit pula yang akan menanggapi.
  3. Kemungkinan seseorang untuk menerima informasi baru meningkat seiring dengan kesesuaian informasi baru (isu baru) tersebut dengan sikap mereka sebelumnya. Orang akan cenderung menghindari informasi yang tidak menyenangkan.
  4. Kecenderungan masyarakat merespon dengan cara yang berbeda-beda terhadap informasi (isu) yang sama, tergantung dari keyakinan dan nilai yang dimiliki masing-masing.
Film dalam konteks ini pula, dianalogikan sebagai social product, sesuatu yang didesain oleh social marketer, sang agen perubahan. Kala mendesain sebuah kampanye, ada faktor-faktor penting dalam penggunaan media massa untuk mengubah perilaku dan sikap publik : faktor audiens, pesan, media, dan response-mechanism (Kotler, 1989).

0 komentar:

Posting Komentar